Rabu, 09 Maret 2016

Kerusakan Lingkungan Dalam Buddhis



Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada disekitar manusia serta mempengaruhi kehidupan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung.
Lingkungan hidup adalah sebuah kesatuan ruang dengan segala benda dan makhluk hidup didalamnya termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi keberlangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup yang lainnya. Lingkungan hidup mencakup ekosistem, perilaku sosial, budaya, dan juga udara yang ada.
Kerusakan Lingkungan adalah berubahnya struktur, bentuk, komposisi, susunan suatu lingkungan hidup yang mengakibatkan kualitas lingkungan hidup tersebut menurun. Dengan kualitas lingkungan hidup menurun berarti keseimbangan lingkungan terganggu. Lingkungan hidup dapat mengalami kerusakan karena berbagai faktor. Faktor tersebut bisa jadi faktor alam, bisa jadi diakibatkan karena kelalaian manusia, dan bisa juga terjadi akibat kombinasi dari keduanya. Contoh-contoh kerusakan lingkungan antara lain:
1)     Tanah longsor akibat hutan yang gundul.
2)     Kebakaran hutan karena pembalakan liar.
3)     Perburuan liar yang menyebabkan terancam punahanya beberapa spesies.
4)     Penumpukan sampah pada sungai yang mengakibatkan air tidak dapat mengalir secara lancar hingga meluap dan menyebabkan banjir.
5)     Pembuangan sampah disembarang tempat yang mengakibatkan banyaknya hewan pembawa penyakit seperti lalat, tikus dan nyamuk.
6)     Tsunami.
7)     Gempa bumi.
Didalam Karaniyametta Sutta dijelaskan bahwa, hendaklah ia berpikir semoga semua makhluk berbahagia. Makhluk hidup apapun juga, yang lemah dan yang kuat tanpa kecuali, yang panjang atau yang besar, yang sedang, pendek, kecil atau gemuk, yang tampak atau tak tampak, yang jauh ataupun yang dekat, yang terlahir atau yang akan lahir, semoga semua makhluk berbahagia. Hal ini mengandung arti bahwa agama Buddha menolak terjadinya pencemaran maupun perusakan alam dan segenap potensinya.
Sang Buddha mengumpamakan kesesuaian antara kehidupan manusia dengan lingkungannya yaitu dengan peningkatan kesejahteraan sebagai jalannya kereta beroda empat. Dengan memiliki empat roda kemakmuran, manusia dan dan dewa akan hidup makmur atau sukses. Roda pertama: tempat tinggal yang sesuai, menyangkut lingkungan fisik dan non-fisik dalam arti yang seluas-luasnya, Kedua: pergaulan dengan orang-orang yang mulia, ketiga: mengarahkan atau menyesuaikan dan menempatkan diri secara benar, keempat: adanya timbunan jasa kebajikan (Anggutara Nikaya II: 31).
Dalam Vinaya bagian Siksakaraniya, 193 dijelaskan “seorang bhikkhu harus belajar untuk tidak membuang air kecil, air besar, atau meludah ke dalam air” dari kutipan diatas jelas sekali bahwa, Buddhisme mengajarkan untuk tidak membuang kotoran secara sembarangan. Menjaga dan melestarikan lingkungan hidup merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, Sang Buddha bersabda, mengenai lingkungan: “bagai seekor lebah yang tidak merusak kuntum bunga, baik warna, maupun baunya, pergi setelah memperoleh madu, begitulah hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa” (Dhammapada: 49). Dalam ekosistem, lebah tidak hanya mengambil keuntungan dari bunga, tetapi juga sekaligus membayarnya dengan membantu penyerbukan. Perilaku lebah memberi inspirasi, bagaimana seharusnya menggunakan sumber daya alam terbatas (Wijaya-Mukti, 2004: 418).
Buddhisme mengecam perusakan hutan dan lingkungan, sebagaimana yang dinyatakan dalam kitab Brahmajala Sutta “Samana Gotama tidak merusak biji-bijian yang masih dapat tumbuh dan tidak mau merusak tumbuh-tumbuhan”. Dari kutipan tersebut, maka Buddhisme mengajarkan kita untuk mencintai alam ini dan tidak merusaknya. Dalam Vinaya bagian Prayascitta, 60 : “jika seorang bhikkhu menyebabkan tumbuh-tumbuhan tercabut dari tempat tumbuh, maka ia melakukan pelanggaran”.   Pohon-pohon dan orang-orang berada dalam tali temali, manusia bagaikan pohon dan udara, belukar dan awan. Bila pepohonan tidak dapat hidup, manusia tidak dapat hidup pula. Manusia saling tali-temali, itulah tatanan antar makhluk. Didalam Aganna Sutta, dijelaskan mengenai hubungan timbal-balik antara perilaku manusia dan evolusi perkembangan tumbuh-tumbuhan. Jenis padi (Sali) yang pertama dikenal berupa butiran yang bersih tanpa sekam. Padi dipetik pada sore hari, berbuah kembali keesokan harinya. Dipetik pagi-pagi, berbutir masak kembali di sore hari. Semula manusia mengumpulkan padi yang cukup untuk makan siang dan makan malam sekaligus. Pikiran yang berikutnya – lebih baik lagi kalau dikumpulkan untuk dua hari, empat hari, delapan hari, dan seterusnya. Sejak itu manusia mulai menimbun padi. Padi yang telah dituai tidak tumbuh kembali. Maka, akibat keserakahannya, manusia harus menanam dan menunggu cukup lama hingga padi yang ditanamnya berbuah. Batang-batang padi mulai tumbuh berumpun. Lalu butir-butir padi pun berkulit sekam (Digha Nikaya III: 88-90). Sikap yang terpusat pada diri manusia dan anggapan bahwa dunia ini disediakan untuknya saja tidak membuat hidup manusia menjadi lebih baik. Dalam Cakkavatti Sihanada Sutta, dijelaskan bahwa sekalipun kepadatan penduduk bertambah karena tingkat kematian menurun atau harapan hidup manusia meningkat, manusia masih dapat cukup makan  (Digha Nikaya III: 75).
Buddha mendekati lingkungan alam dan hubungan manusia yang alami dilukiskan dalam kitab suci berguna untuk menciptakan suatu atmosfer menyenangkan dalam kehidupan diatas bumi. Tiga peristiwa utama menyangkut kehidupan Buddha, kelahiran, pencapaian penerangan sempurna, dan wafat, mengambil tempat dibawah pohon terbuka. Buddha menasehatkan kepada biarawan untuk mencari tempat luas ditengah hutan dan kaki pohon untuk praktek meditasi. Udara menyenangkan, tenang dalam suatu lingkungan alami dipertimbangkan sebagai sarana untuk pertumbuhan spiritual. Perhatian Buddha untuk hutan dan pohon digarisbawahi dalam Vanaropa Sutta (Samyutta Nikaya I, 32) dimana konon penanaman kebun (aramaropa) dan hutan (vanaropa) adalah tindakan yang berjasa, menganugerahkan jasa siang malam sebagai penolong. Dalam Vinaya Buddha menetapkan bahwa seorang Bhikkhu yang menyebabkan kerusakan pada tanaman dinyatakan bersalah. Seorang pertapa harus melatih dirinya untuk menghargai kehidupan dalam bentuk sekecil apapun (Vinaya III, 41-42).
Ajaran Buddha mengenai sikap menghormati dan tanpa kekerasan, tidak hanya berlaku terhadap semua makhluk hidup, tetapi juga terhadap tumbuh-tumbuhan (Digha Nikaya I, 5). Di musim hujan (vassa) para bhikkhu melakukan rakatan dan tidak melakukan perjalanan menghindari kemungkinan dan menginjak tunas-tunas tanaman atau menggangu kehidupan binatang-binatang kecil yang muncul setelah hujan (Vinaya I, 137). Umat Buddha seharusnya wajib menanam sebatang pohon setiap beberapa tahun dan menjaganya sampai sungguh-sungguh hidup untuk meningkatkan kesejahteraan (Jal.I. 123). Sumber daya alam yang penting adalah hutan. Hutan dengan segala isinya merupakan sumber kehidupan. Hutan adalah tempat yang menyenangkan untuk melakukan latihan meditasi. Disana para pertapa yang telah bebas dari nafsu dan menyukai kesunyian akan menyepi dan merasa gembira  (Dhammapada 99). Manusia sangat berkepentingan untuk selalu menjaga kelestarian hutan. Hendaklah sebagai umat Buddha pikirannya dipenuhi cinta kasih yang tak terbatas, menyelimuti seluruh dunia. Ke atas, ke bawah, dan ke sekeliling, tanpa rintangan, tanpa kebencian, tanpa rasa permusuhan apapun (Metta Sutta). Seseorang yang menjalankan prinsip-prinsip tersebut, tidak akan dengan sengaja dan sadar mencemari lingkungannya, karena ia mengetahui bahwa hal itu akan melukai, menyakiti, serta membunuh makhluk lainnya.
Sebagai umat Buddha yang baik seharusnya kita senantiasa menjaga lingkungan kita dengan penuh kasih, agar lingkungan juga senantiasa menjaga kita, contohnya yaitu dengan kita membuang sampah pada tempatnya, membersihkan selokan maupun sungai yang ada di sekitar rumah kita, menannam pohon, tidak selalu memanjakan kaki dengan berkendara terus-menerus yaitu apabila kita ke tempat tujuan yang dekat kita alangkah baiknya berjalan kaki saja untuk mengurangi polusi.

6 komentar:

  1. Suatu materi yang menarik, yang dapat menambah pengetahuan pada kita semua mengenai kerusakan lingkungan dalam buddhisme. Bagaimana Buddhis membahas mengenai kerysakan lingkungan, penyebabnya, serta cara melestarikannya,..sangat lengkap dibahas dalam artikel ini
    Thanks , sungguh bermanfaat :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih mujiyanto, kritik dan saran dari saudara yang membangun sangat saya harapkan demi sempurnanya artikel ini..

      Hapus
  2. Blognya bagus, Artikelnya juga bagus
    Semoga Blog dan postingannya bisa bermanfaat bagi kita semua..
    Svaha

    BalasHapus
  3. Luar biasa semoga semakin umat budha semakin maju

    BalasHapus
  4. Luar biasa semoga semakin umat budha semakin maju

    BalasHapus